Mengapa Berita Hoaks Mengenai COVID-19 Muncul Tanpa Henti


Dengan maraknya penyebaran COVID-19 di berbagai penjuru dunia, banyak orang yang menyebarkan berita palsu lewat sosial media seperti Facebook dan Whatsapp. Pada tahap awal penyebaran COVID-19, ada teori konspirasi yang muncul bahwa virus tersebut adalah senjata biologis militer, dan banyak masyarakat dunia yang tidak percaya atas solusi yang diklaim dapat mencegah penularan. Berita palsu yang marak kita baca di media sosial bukan pertama kali terjadi pada sejarah wabah yang dialami oleh dunia. Pada awal 1980-an, 1990-an, dan 2000-an, kita mulai serangkaian berita tentang HIV-AIDS. Pada saat kasus HIV-AIDS menguncang dunia, dunia juga pernah dikejutkan oleh berita hoaks bahwa HIV-AIDS adalah virus yang dibuat oleh pemerintah, dan banyak juga beredar metode penyembuhan HIV-AIDS; termasuk susu kambing dapat menyembuhkan HIV-AIDS.

Dengan perkembangan platform komunikasi seperti Facebook dan Instagram, berita palsu ini telah menyebar secara luas.  Untuk menanggapi hal tersebut, Whatsapp akan memperketat sistem direct message mereka; dan pengguna hanya dapat meneruskan pesan ke satu orang pada waktu yang sama. Facebook juga telah bertindak untuk menghapus semua berita maupun informasi palsu pada facebook platform.

Reporter BBC future Network David Robson menganalisis bahwa berita palsu semacam ini tidak akan pernah kekurangan pembaca, dikarenakan pengarang artikel-artikel tersebut adalah orang terkenal. Mereka mampu untuk menarik daya minat pembaca dengan menggunakan kalimat-kalimat persuasif yang terkesan meyakinkan bagi pembaca.

More than enough information: Dunia sudah dimanjakan dengan kelebihan informasi

Dengan banyaknya informasi yang didapat oleh masyarakat modern, dan banyaknya penduduk dunia yang sangat bergantung pada intuisi mereka sendiri, masyarakat tidak jarang lalai dalam menyaring informasi yang didapat. Psikolog Universitas Nasional Australia, Eryn Newman, mempublisikan penelitian bahwa hanya dengan menempelkan gambar di sebelah teks artikel, otomatis telah membuat artikel kami lebih kredibel. Misalnya, dalam sebuah artikel yang memuat tentang penelitian virus, disertai dengan ilustrasi virus. Newman percaya bahwa ilustrasi viral ini tidak selalu terkait dengan artikel yang dimaksud, namun artikel tersebut dapat meyakinkan pembaca untuk membayangkan situasi yang terkait dalam pikirannya. Pembaca pun percaya bahwa artikel yang ia baca adalah artikel yang bisa dipercaya.

Apa yang salah dengan menyebarkan berita palsu?
Sering kali terjadi, berita palsu yang terkait dengan epidemi akan memberikan tips kesehatan, tetapi kadang kala tips kesehatan yang diberikan tidak sesuai dengan rekomendasi dari para ahli medis. Tips dan rekomendasi tersebut sering kali memiliki konsekuensinya tersendiri. Sebagai contoh, beberapa orang di Iran sebelumnya percaya bahwa minum alkohol hasil industri dapat mengobati COVID-19, dan menyebabkan kematian. Tips kesehatan yang sering dijumpai adalah berupa berita yang ketika dibaca oleh pembaca, pembaca akan merasa bahwa mereka aman sehingga mereka mengabaikan instruksi pemerintah dalam menangani epidemi. Perusahaan Inggris YouGov dan Ekonom menemukan bahwa dalam survei bahwa sekitar 13% orang Amerika mempercai bahwa Virus korona adalah fiktif, dan 49% yang lain percaya bahwa virus tersebut adalah buatan manusia.
Beberapa contoh menunjukan bahwa tingkat pendidikan tidak terkait langsung dengan tingkat kepercayaan terhadap berita yang dibaca.

Pikirlah dua kali sebelum menyebar berita!
Gordon Pennycook, seorang sarjana dari Universitas Regina, Kanada, melakukan penelitian tentang penyaringan berita hoaks. Peserta diminta untuk membaca beberapa berita utama dan memutuskan apakah berita itu benar. Hasilnya menemukan bahwa meskipun sebagian besar subjek penelitian dapat dengan benar menentukan apakah pesan yang dibaca adalah berita palsu, namun 35% dari mereka tetap menyebarkan berita palsu kepada teman teman mereka.

Penny Cook percaya bahwa pengguna situs jejaring sosial tidak terlalu peduli tentang keaslian pesan saat meneruskan pesan, tetapi lebih banyak tentang apakah mereka akan mendapatkan "suka". Dia menggambarkan bahwa mode operasi situs jejaring sosial tidak menyaring berita benar, "hanya peduli tentang interaksi antara pengguna."

Menanggapi penyebaran berita palsu ini, platform seperti Facebook, WhatsApp, dan situs berita telah meluncurkan banyak verifikasi dalam mode meneruskan berita dalam upaya mengingatkan pembaca untuk lebih teliti dalam menyebar info kepada sesama.

Matthew Stanley, seorang sarjana Universitas New York yang telah mempelajari sejarah sains selama bertahun-tahun, percaya bahwa ketika memverifikasi berita palsu, gunakan sebanyak mungkin ilustrasi atau bagan untuk memudahkan pembaca memahami kebenaran di baliknya.

"Beberapa orang kurang mau berpikir atau menganalisis, dan kami berharap agar masyarakat tetap analistis dalam meneruskan berita.

Untuk itu, perlu disadari oleh kita untuk menyaring segala berita yang disebarkan di media sosial dengan teliti. Apalagi dalam situasi pandemi seperti ini, semakin banyak informasi dan tips yang tersebar luas di kalangan masyarakat dan tidak diketahui kebenarannya. Jadi, berhati-hatilah dalam menerima berita dan menyebar berita.

PT. Shan Hai Map menjadi salah satu supplier kebutuhan APD Anda. Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi Audrey (0817 499 1995).

Gambar di atas merupakan Sistem Order kami Uchannel https://uchannel.yonyoucloud.com/

Pemilihan produk APD juga di seleksi oleh PT. Shan Hai Map, produk-produk dengan standarisasi yang baik dan bersertifikat asli dipilih sebagai partner kami untuk menyediakan APD yang layak bagai masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah pabrik asal China yaitu Henan Touren Medical Devices.Co.,Ltd.

Comments

Popular posts from this blog

KN95 Bisa Menjadi Pengganti N95 untuk Tenaga Medis

Jangan salah lagi! Simak baik baik perbedaan antara MERS-CoV dan COVID-19!

Perbedaan Antara Pakaian APD Medis dan APD Gaun Isolasi